Perjalanan Mahasiswa PGPAUD UAD, Dita Deviana Rachmawati dalam SEA Teacher Batch 10 di Filipina
Dita Deviana Rachawati, mahasiswa Program Studi PGPAUD UAD rela meninggalkan zona nyamannya dan menjelajah dunia luar merupakan keputusan terbesar bagi Dita yang belum pernah merantau sebelumnya. Dita berani mengambil tantangan dengan mengikuti SEA Teacher Batch 10, program pertukaran mahasiswa yang diinisiasi oleh Southeast Asian Ministers of Education Organization (SEAMEO). Dalam program ini, Dita mendapatkan kesempatan emas untuk mengajar dan belajar di University of St. La Salle, Filipina, selama 27 hari. Keikutsertaannya dalam program ini bukan semata-mata karena ingin menambah pengalaman akademik, tetapi juga sebagai bentuk penghargaan terhadap dirinya sendiri atas perjalanan panjang di semester 7. Bagi Dita ini merupakan kesempatan sekali seumur hidup yang tidak bisa dilewatkan begitu saja.
“Saya ingin memperluas perspektif tentang pendidikan di luar Indonesia dan juga merasakan pengalaman mengajar di luar negeri. Selain itu, ini juga menjadi ajang untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris saya yang masih perlu banyak latihan,” ungkapnya dengan antusias.
Namun, sebelum benar-benar yakin mengikuti program ini, Dita sempat dihadapkan dengan berbagai pertimbangan. Banyak yang menyarankan agar ia lebih fokus menyelesaikan skripsinya daripada mengambil program yang tidak direkognisi sebagai PLP II atau KKN. Meski begitu, ia tetap teguh pada keputusannya. Dengan restu orang tua, ia meyakinkan dirinya bahwa pengalaman iniakan menjadi investasi berharga bagi masa depannya. Persiapannya pun cukup matang, mulai dari urusan dokumen, kebutuhan selama di Filipina, hingga membiasakan diri dengan bahasa Inggris agar lebih lancar berkomunikasi. Selama program berlangsung, pengalaman menjadi anak rantau untuk pertama kalinya benar-benar menguji adaptasi Dita. Dari soal makanan yang jauh berbeda dengan Indonesia—yang lebih banyak bercita rasa kecut, asin, atau manis, tanpa pedas—hingga tantangan komunikasi karena masyarakat Filipina lebih sering menggunakan bahasa Tagalog dalam kesehariannya.
“Awalnya kaget, tapi lama-lama jadi terbiasa. Untungnya, saya sempat membawa makanan dari Indonesia,” tuturnya sambil tertawa.
Bukan hanya dalam hal budaya, sistem pendidikan di Filipina pun memberikan perspektif baru
baginya. Berbeda dengan di Indonesia yang lebih berbasis proyek dan bermain, anak-anak di TK
Filipina lebih banyak diberikan materi akademik seperti menulis angka dan huruf. Bahkan, mereka
harus menjalani ujian selama dua hari. Hal lain yang mengejutkan adalah bagaimana guru sangat
dihormati di sana. Ketika hari guru tiba, banyak orang tua yang ikut merayakan dengan memberikan
hadiah, termasuk untuk Dita yang baru pertama kali masuk kelas.
“Saya diberi kue oleh salah satu orang tua murid, rasanya terharu sekali,” katanya.
Dita meyakini bahwa mahasiswa yang berani mengambil tantangan internasional adalah mereka
yang memiliki mental tangguh.
“Menghadapi tantangan di negara sendiri saja sudah sulit, apalagi di luar negeri. Tapi dari situlah kita belajar dan tumbuh,” katanya.
Ia pun berpesan kepada adik tingkatnya agar tidak takut keluar dari zona nyaman.
“Kesempatan seperti ini tidak datang dua kali. Kalau ada peluang, ambil dan jalani dengan sepenuh hati. Siapa tahu, dari pengalaman ini kita bisa menemukan versi terbaik dari diri kita sendiri,” pungkasnya.
Perjalanan Dita di Filipina bukan hanya tentang pengalaman akademik, tetapi juga pembelajaran
hidup yang mengajarkannya kemandirian, keberanian, dan kesiapan menghadapi tantangan baru.
(puspitasari/ed:ink)